Rabu, 11 April 2012

Hakikat Pembelajaran dan Siswa Sekolah Dasar


1. Hakikat Belajar

a.       Hakekat Pembelajaran
Paradigma interaksi guru-siswa di sekolah sekarang telah berubah, dari pengajaran (instructional, teaching-instruksional)  menjadi pembelajaran (learning), dari guru sebagai subjek (pemain) dan siswa objek (penonton) menjadi siswa sebagai subjek dan guru menjadi sutradara. Dalam pengajaran yang berkonotasi aktivitas guru dengan pola informasi, contoh, tanya-jawab, latihan, tugas, dan evaluasi memandang siswa sebagai wadah kosong yang perlu diisi pengetahuan sebanyak-banyaknya, suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, berminat atau tidak berminat, yang penting materi (tugas) selesai tersampaikan.
Sebaliknya, dalam konteks pembelajaran, memandang siswa sebagai subyek, jadi berkonotasi pada aktivitas siswa (minds-on dan hands-on).  Mengapa demikian ? Karena pada pembelajaran, yaitu membelajarkan siswa – membuat siswa belajar,  berasumsi bahwa siswa telah memiliki bekal (potensi) berupa intelektual, emosional, dan spiritual yang perlu dikembangkan dengan fasilitasi dari guru. Jadi belajar dapat dipandang sebagai pengembangan potensi tersebut secara optimal. Prinsip pembelajaran yang dijadikan pedoman adalah siswa pemain - guru sutradara, siswa mengalami-melakukan-mengkomunikasikan, negosiasi - bukan instruksi, konstruksivis dari daily life, orientasi pada kompetensi (pangabisa) tidak sekedar teori, dan nyaman-menyenangkan.


b.      Hakekat Siswa Sekolah Dasar
Pada umumnya usia siswa Sekolah Dasar berkisar pada umur 6 sampai dengan 12 tahun. Piaget (dalam Atit Suryati, 2007) mengemukakan bahwa “pada usia ini siswa baru memiliki kemampuan berfikir konkrit, yang berarti bahwa mereka bisa belajar secara bermakna (meaningfull) jika menggunakan benda konkrit dari dunia mereka.  Oleh karena itu, hindarilah pembelajaran yang sifatnya dominan verbal agar tidak verbalisme”.
Pendapat lain, Bruner mengemukakan bahwa:
Siswa akan belajar efektif jika memanipulasi benda konkrit, yang secara intuitif akan melekat pada diri siswa. Pembelajaran menurut Bruner dengan menggunakan pendekatan spiral, dimulai dari hal konkrit ke abstrak – dari hal yang sederhana ke hal yang kompleks -  dari hal yang mudah ke yang sukar. Ini berarti bentuk spiral tersebut vertikal dari bawah ke atas, mulai dengan diameter kecil dan makin membesar. Hal ini sesuai dengan kondisi kemampuan berfikir siswa Sekolah Dasar yang masih konkrit dan sederhana.

Jika tidak demikian siswa akan merasa terbebani dengan pengajaran yang bersifat transmisi (searah). Ini akan berakibat fatal, karena pada saat berikutnya kondisi kognitif dan afektifnya terganggu sehingga akan menimbulkan kelelahan, ketakmampuan, kebosanan, kekesalan, kekecewaan, ketakutan, dan stres. Pada tahap lanjut dari kondisi seperti ini munculah perilaku acuh tak acuh, menghindar, bahkan membenci. Kondisi ini seringkali terjadi karena salah memandang siswa secara utuh, parahnya hal ini tidak disadari oleh guru, dan ini bukanlah pembelajaran tetapi lebih cenderung pada pemerkosaan terhadap potensi siswa.
Menurut Ace Suryadi (dalam Atit Suryati, 2007) dikemukakan bahwa, “kecerdasan anak akan berkembang pesat melalui interaksi intensif dengan lingkungan sekitar. Jika tidak, kecerdasan anak justru tidak akan berkembang, interaksi dengan lingkungan sekitar merupakan komponen pentuing untuk melejitkan kecerdasan anak”. Sedangkan Maman Djauhari (dalam Atit Suryati, 2007) “membelajarkan anak tanpa didasari dengan pengalaman konkrit dari dunia sekitarnya hanya mencapai tingkat mengetahui tanpa makna dan untuk dilupakan”.
2.              Pendekatan Inkuiri Terbimbing
            Menurut Sofan (2010: 200), pendekatan inkuiri merupakan pendekatan yang melibatkan  secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki sesuatu (benda, manusia atau peristiwa) secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Joyce (dalam Sofan, 2010:200) mengemukakan bahwa:

            Kondisi-kondisi umum yang merupakan syarat bagi timbulnya kegiatan inkuiri bagi siswa yaitu (1) aspek social di dalam kelas dan suasana bebas-terbuka dan permisif yang mengundang siswa berdiskusi, (2) berfokus pada hipotesis yang perlu diuji kebenarannya, (3) penggunaan fata sebagai evidensi dan di dalam proses pembelajaran dibicarakan validitas dan reliabilitas tentang fakta, sebagaimana lazimnya dalam pengujian hipotesis.

            Pendekatan inkuiri dirancang untuk mengajak siswa secara langsung ke dalam proses ilmiah ke dalam waktu yang relatif singkat. Hasil penelitian Schlenker (dalam Trianto, 2007:136) menunjukkan bahwa “latihan inkuiri dapat meningkatkan pemahaman IPA, produktif dalam berpikir kreatif, dan siswa menjadi terampil dalam memperoleh dan menganalisis informasi.”
Indrawati (dalam Trianto, 2007: 134) menyatakan bahwa "suatu pembelajaran pada umumnya akan lebih efektif bila diselenggarakan melalui model-model pembelajaran yang termasuk rumpun pemrosesan informasi. Hal ini dikarenakan model-model pemrosesan informasi menekankan pada bagaimana seseorang berpikir dan bagaimana dampaknya terhadap cara-cara memperoleh informasi." 
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa inti dari berpikir yang baik adalah kemampuan untuk memecahkan masalah. Dasar dari pemecahan masalah adalah kemampuan untuk belajar dalam situasi proses berpikir. Dengan demikian, hal ini dapat diimplementasikan bahwa kepada siswa hendaknya diajarkan bagaimana belajar yang meliputi apa yang diajarkan, bagaiman hal itu diajarkan, jenis kondisi belajar, dan memperoleh pandangan baru.
Untuk kepentingan ini salah satu yang termasuk dalam model pemrosesan informasi adalah pendekatan inkuiri. Yaitu dengan sintaks kegiatan pembelajaran yang dimulai ketika pertanyaan atau permasalahan diajukan, kemudian siswa diminta untuk merumuskan hipotesis, dilanjutkan mengumpulkan data setelah dipilih salah satu gagasan, lalu siswa bertanggung jawab menguji hipotesis yang telah dirumuskan dengan menganalisis data yang telah diperoleh dan langkah terakhir adalah membuat kesimpulan sementara berdasarkan data yang diperoleh siswa (Trianto, 2007: 138).
Menurut Sofan (2010: 200) Inkuiri merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki sesuatu (benda, manusia, atau peristiwa) secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Apabila siswa belum pernah mempunyai pengalaman belajar dengan kegiatan-kegiatan inkuiri, maka diperlukan bimbingan yang cukup luas dari guru. Hal inilah yang disebut dengan inkuiri terbimbing.
Pendekatan inkuiri terbimbing yaitu pendekatan inkuiri dimana guru membimbing siswa melakukan kegiatan dengan memberi pertanyaan awal dan mengarahkan pada suatu diskusi. Guru mempunyai peran aktif dalam menentukan permasalahan dan tahap-tahap pemecahannya. Pendekatan inkuiri terbimbing ini digunakan bagi siswa yang kurang berpengalaman belajar dengan pendekatan inkuiri. Dengan pendekatan ini siswa belajar lebih berorientasi pada bimbingan dan petunjuk dari guru hingga siswa dapat memahami konsep-konsep pelajaran. Pada pendekatan ini siswa akan dihadapkan pada tugas-tugas yang relevan untuk diselesaikan baik melalui diskusi kelompok maupun secara individual agar mampu menyelesaikan masalah dan menarik suatu kesimpulan secara mandiri.

3.  Aktivitas Belajar Siswa
Sadirman (dalam Junaidi, 2010) berpendapat bahwa "belajar adalah berbuat, berbuat untuk mengubah tingkah laku, jadi melakukan kegiatan.  Tidak ada belajar kalau tidak ada aktivitas”.
Senada dengan hal di atas, Gie ( dalam Junaidi, 2010) mengatakan bahwa:
"Keberhasilan siswa dalam belajar tergantung pada aktivitas yang dilakukannya selama proses pembelajaran. Aktivitas belajar adalah segenap rangkaian kegiatan atau aktivitas secara sadar yang dilakukan seseorang yang mengakibatkan perubahan dalam dirinya, berupa perubahan pengetahuan atau kemahiran yang sifatnya tergantung pada sedikit banyaknya perubahan.”
Aktivitas siswa dalam pembelajaran mempunyai peranan yang sangat pen-ting. Hal ini sesuai dengan pendapat Sadirman (dalam Junaidi, 2010) bahwa:

Dalam belajar sangat diperlukan adanya aktivitas, tanpa aktivitas belajar itu tidak mungkin akan berlangsung dengan baik.  Aktivitas dalam proses belajar mengajar merupakan rangkaian kegiatan yang meliputi keaktifan siswa dalam mengikuti pelajaran, bertanya hal yang belum jelas, mencatat, mendengar, berfikir, membaca, dan segala kegiatan yang dilakukan yang dapat menunjang prestasi belajar.

Dalam pembelajaran IPA pun demikian. Perlu diperhatikan bagaimana keterlibatan siswa dalam pengorganisasian pengetahuan, apakah mereka aktif atau pasif.  Banyak jenis aktivitas yang dapat dilakukan oleh siswa selama mengikuti pembelajaran.  Berkenaan dengan hal tersebut, Paul B. Dierich (dalam Junaidi, 2010) menggolongkan aktivitas siswa dalam pembelajaran an­tara lain sebagai berikut.
1)visual activities, yang termasuk di dalamnya misalnya, mem-baca, memperhatikan gambar, demonstrasi, percobaan, pekerjaan orang lain, 2) oral activities, seperti: menyatakan, merumuskan, bertanya, dan memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wa-wancara, diskusi, interupsi,3)listening activities, sebagai contoh mendengarkan: uraian, per-cakapan, diskusi, musik, pidato, 4)writing activities, seperti misalnya menulis cerita, karangan, laporan, angket, menyalin, 5) drawing activities, misalnya: menggambar, membuat grafik, peta, diagram, 6) motor activities, yang termasuk di dalamnya antara lain: me-lakukan percobaan, membuat konstruksi, model mereparasi, bermain, berkebun, beternak, 7) mental activities, sebagai contoh misalnya: menganggapi, mengingat, memecahkan soal, menganalisa, melihat hubungan, mengambil keputusan, 8) emotional activities, seperti misalnya: menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang, dan gugup.

1 komentar:

  1. Lucky Club Lucky Club Online Casino | Live Roulette | Live
    online roulette, live dealer casino luckyclub.live online, Live casino online, Live dealer roulette, Roulette Lucky Club Lucky Club Online Casino.

    BalasHapus