1. Hakikat Belajar
a.
Hakekat Pembelajaran
Paradigma
interaksi guru-siswa di sekolah sekarang telah berubah, dari pengajaran
(instructional, teaching-instruksional)
menjadi pembelajaran (learning), dari guru sebagai subjek (pemain) dan
siswa objek (penonton) menjadi siswa sebagai subjek dan guru menjadi sutradara.
Dalam pengajaran yang berkonotasi aktivitas guru dengan pola informasi, contoh,
tanya-jawab, latihan, tugas, dan evaluasi memandang siswa sebagai wadah kosong
yang perlu diisi pengetahuan sebanyak-banyaknya, suka atau
tidak suka, senang atau tidak senang, berminat atau tidak berminat, yang
penting materi (tugas) selesai tersampaikan.
Sebaliknya,
dalam konteks pembelajaran, memandang siswa sebagai subyek, jadi berkonotasi
pada aktivitas siswa (minds-on dan hands-on).
Mengapa demikian ? Karena pada pembelajaran, yaitu membelajarkan siswa –
membuat siswa belajar, berasumsi bahwa
siswa telah memiliki bekal (potensi) berupa intelektual, emosional, dan
spiritual yang perlu dikembangkan dengan fasilitasi dari guru. Jadi belajar dapat dipandang sebagai pengembangan
potensi tersebut secara optimal. Prinsip pembelajaran yang dijadikan pedoman adalah
siswa pemain - guru sutradara, siswa mengalami-melakukan-mengkomunikasikan,
negosiasi - bukan instruksi, konstruksivis dari daily life, orientasi pada
kompetensi (pangabisa) tidak sekedar teori, dan nyaman-menyenangkan.
b. Hakekat Siswa Sekolah Dasar
Pada umumnya
usia siswa Sekolah Dasar berkisar pada umur 6 sampai dengan 12 tahun. Piaget
(dalam Atit Suryati, 2007) mengemukakan bahwa “pada usia ini siswa baru
memiliki kemampuan berfikir konkrit, yang berarti bahwa mereka bisa belajar
secara bermakna (meaningfull) jika menggunakan benda konkrit dari dunia
mereka. Oleh karena itu, hindarilah pembelajaran yang sifatnya dominan verbal agar
tidak verbalisme”.
Pendapat lain, Bruner mengemukakan bahwa:
Siswa akan belajar efektif jika
memanipulasi benda konkrit, yang secara intuitif akan melekat pada diri siswa.
Pembelajaran menurut Bruner dengan menggunakan pendekatan spiral, dimulai dari
hal konkrit ke abstrak – dari hal yang sederhana ke hal yang kompleks - dari hal yang mudah ke yang sukar. Ini
berarti bentuk spiral tersebut vertikal dari bawah ke atas, mulai dengan
diameter kecil dan makin membesar. Hal ini sesuai dengan kondisi kemampuan
berfikir siswa Sekolah Dasar yang masih konkrit dan sederhana.
Jika tidak demikian siswa akan merasa
terbebani dengan pengajaran yang bersifat transmisi (searah). Ini akan
berakibat fatal, karena pada saat berikutnya kondisi kognitif dan afektifnya
terganggu sehingga akan menimbulkan kelelahan, ketakmampuan, kebosanan,
kekesalan, kekecewaan, ketakutan, dan stres. Pada tahap lanjut dari kondisi
seperti ini munculah perilaku acuh tak acuh, menghindar, bahkan membenci.
Kondisi ini seringkali terjadi karena salah memandang siswa secara utuh,
parahnya hal ini tidak disadari oleh guru, dan ini bukanlah pembelajaran tetapi
lebih cenderung pada pemerkosaan terhadap potensi siswa.
Menurut Ace Suryadi (dalam Atit Suryati,
2007) dikemukakan bahwa, “kecerdasan anak akan berkembang pesat melalui
interaksi intensif dengan lingkungan sekitar. Jika tidak, kecerdasan anak
justru tidak akan berkembang, interaksi dengan lingkungan sekitar merupakan
komponen pentuing untuk melejitkan kecerdasan anak”. Sedangkan Maman Djauhari (dalam
Atit Suryati, 2007) “membelajarkan anak tanpa didasari dengan pengalaman
konkrit dari dunia sekitarnya hanya mencapai tingkat mengetahui tanpa makna dan
untuk dilupakan”.
2.
Pendekatan Inkuiri Terbimbing
Menurut Sofan (2010: 200), pendekatan
inkuiri merupakan pendekatan yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk
mencari dan menyelidiki sesuatu (benda, manusia atau peristiwa) secara
sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri
penemuannya dengan penuh percaya diri. Joyce (dalam Sofan, 2010:200)
mengemukakan bahwa:
Kondisi-kondisi
umum yang merupakan syarat bagi timbulnya kegiatan inkuiri bagi siswa yaitu (1)
aspek social di dalam kelas dan suasana bebas-terbuka dan permisif yang
mengundang siswa berdiskusi, (2) berfokus pada hipotesis yang perlu diuji
kebenarannya, (3) penggunaan fata sebagai evidensi dan di dalam proses
pembelajaran dibicarakan validitas dan reliabilitas tentang fakta, sebagaimana
lazimnya dalam pengujian hipotesis.
Pendekatan inkuiri dirancang untuk
mengajak siswa secara langsung ke dalam proses ilmiah ke dalam waktu yang
relatif singkat. Hasil penelitian Schlenker (dalam Trianto, 2007:136)
menunjukkan bahwa “latihan inkuiri dapat meningkatkan pemahaman IPA, produktif
dalam berpikir kreatif, dan siswa menjadi terampil dalam memperoleh dan
menganalisis informasi.”
Indrawati (dalam Trianto,
2007: 134) menyatakan bahwa "suatu pembelajaran pada umumnya akan lebih
efektif bila diselenggarakan melalui model-model pembelajaran yang termasuk
rumpun pemrosesan informasi. Hal ini dikarenakan model-model pemrosesan
informasi menekankan pada bagaimana seseorang berpikir dan bagaimana dampaknya
terhadap cara-cara memperoleh informasi."
Pernyataan di atas
menunjukkan bahwa inti dari berpikir yang baik adalah kemampuan untuk
memecahkan masalah. Dasar dari pemecahan masalah adalah kemampuan untuk belajar
dalam situasi proses berpikir. Dengan demikian, hal ini dapat diimplementasikan
bahwa kepada siswa hendaknya diajarkan bagaimana belajar yang meliputi apa yang
diajarkan, bagaiman hal itu diajarkan, jenis kondisi belajar, dan memperoleh
pandangan baru.
Untuk kepentingan ini
salah satu yang termasuk dalam model pemrosesan informasi adalah pendekatan
inkuiri. Yaitu dengan sintaks kegiatan pembelajaran yang dimulai ketika
pertanyaan atau permasalahan diajukan, kemudian siswa diminta untuk merumuskan
hipotesis, dilanjutkan mengumpulkan data setelah dipilih salah satu gagasan,
lalu siswa bertanggung jawab menguji hipotesis yang telah dirumuskan dengan
menganalisis data yang telah diperoleh dan langkah terakhir adalah membuat
kesimpulan sementara berdasarkan data yang diperoleh siswa (Trianto, 2007:
138).
Menurut Sofan (2010: 200) Inkuiri merupakan kegiatan
pembelajaran yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk
mencari dan menyelidiki sesuatu (benda, manusia, atau peristiwa) secara
sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri
penemuannya dengan penuh percaya diri. Apabila siswa belum pernah mempunyai
pengalaman belajar dengan kegiatan-kegiatan inkuiri, maka diperlukan bimbingan
yang cukup luas dari guru. Hal inilah yang disebut dengan inkuiri terbimbing.
Pendekatan inkuiri terbimbing yaitu
pendekatan inkuiri dimana guru membimbing siswa melakukan kegiatan dengan
memberi pertanyaan awal dan mengarahkan pada suatu diskusi. Guru mempunyai
peran aktif dalam menentukan permasalahan dan tahap-tahap pemecahannya.
Pendekatan inkuiri terbimbing ini digunakan bagi siswa yang kurang
berpengalaman belajar dengan pendekatan inkuiri. Dengan pendekatan ini siswa
belajar lebih berorientasi pada bimbingan dan petunjuk dari guru hingga siswa
dapat memahami konsep-konsep pelajaran. Pada pendekatan ini siswa akan
dihadapkan pada tugas-tugas yang relevan untuk diselesaikan baik melalui
diskusi kelompok maupun secara individual agar mampu menyelesaikan masalah dan
menarik suatu kesimpulan secara mandiri.
3. Aktivitas Belajar Siswa
Sadirman (dalam Junaidi,
2010) berpendapat bahwa "belajar adalah berbuat, berbuat untuk mengubah
tingkah laku, jadi melakukan kegiatan. Tidak ada belajar kalau tidak ada aktivitas”.
Senada dengan hal di atas, Gie ( dalam Junaidi,
2010) mengatakan bahwa:
"Keberhasilan siswa dalam belajar tergantung
pada aktivitas yang dilakukannya selama proses pembelajaran. Aktivitas belajar
adalah segenap rangkaian kegiatan atau aktivitas secara sadar yang dilakukan
seseorang yang mengakibatkan perubahan dalam dirinya, berupa perubahan
pengetahuan atau kemahiran yang sifatnya tergantung pada sedikit banyaknya
perubahan.”
Aktivitas siswa dalam
pembelajaran mempunyai peranan yang sangat pen-ting. Hal ini sesuai dengan
pendapat Sadirman (dalam Junaidi, 2010) bahwa:
Dalam belajar sangat diperlukan adanya aktivitas,
tanpa aktivitas belajar itu tidak mungkin akan berlangsung dengan baik.
Aktivitas dalam proses belajar mengajar merupakan rangkaian kegiatan yang
meliputi keaktifan siswa dalam mengikuti pelajaran, bertanya hal yang belum
jelas, mencatat, mendengar, berfikir, membaca, dan segala kegiatan yang
dilakukan yang dapat menunjang prestasi belajar.
Dalam pembelajaran IPA pun
demikian. Perlu diperhatikan bagaimana keterlibatan siswa dalam
pengorganisasian pengetahuan, apakah mereka aktif atau pasif. Banyak
jenis aktivitas yang dapat dilakukan oleh siswa selama mengikuti
pembelajaran. Berkenaan dengan hal tersebut, Paul B. Dierich (dalam Junaidi,
2010) menggolongkan aktivitas siswa dalam pembelajaran antara lain sebagai
berikut.
1)visual activities, yang termasuk di dalamnya
misalnya, mem-baca, memperhatikan gambar, demonstrasi, percobaan, pekerjaan
orang lain, 2) oral activities, seperti: menyatakan, merumuskan, bertanya, dan
memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wa-wancara, diskusi,
interupsi,3)listening activities, sebagai contoh mendengarkan: uraian,
per-cakapan, diskusi, musik, pidato, 4)writing activities, seperti misalnya
menulis cerita, karangan, laporan, angket, menyalin, 5) drawing activities, misalnya:
menggambar, membuat grafik, peta, diagram, 6) motor activities, yang termasuk
di dalamnya antara lain: me-lakukan percobaan, membuat konstruksi, model
mereparasi, bermain, berkebun, beternak, 7) mental activities, sebagai contoh
misalnya: menganggapi, mengingat, memecahkan soal, menganalisa, melihat
hubungan, mengambil keputusan, 8) emotional activities, seperti misalnya:
menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang,
dan gugup.
Lucky Club Lucky Club Online Casino | Live Roulette | Live
BalasHapusonline roulette, live dealer casino luckyclub.live online, Live casino online, Live dealer roulette, Roulette Lucky Club Lucky Club Online Casino.